Makalah Tentang Ujian Nasional (UN)
Download Makalah Ujian Nasiona (UN)
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG PERMASALAHAN
Pro kontra dalam pelaksanaan Ujian Nasional terjadi
disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai pemerintah tidak konsisten,
karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan
siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendidikan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus
meningkat, tetapi belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di
beberapa daerah. Hal ini secara tidak langsung membuat siswa mengalami
kesulitan untuk untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa
terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional ditetapkan
sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata
pada Ujian Nasional sebesar 4,0; tahun 2005 menjadi 4,25; tahun 2006 4,50;
tahun 2007 naik menjadi 5,0; tahun 2008 sebesar 5,25; dan tahun 2009 angka
kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa
terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya. Hal ini tidak akan menjadi
persoalan jika hasil evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi
daerah-daerah yang diketahui dari hasil Ujian Nasional tersebut memiliki nilai
rata-rata kelulusan rendah.
Gerakan adanya
penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung sejak
lima tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan
evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak
sekolah kembali diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya
dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan
nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Menteri
Pendidikan Nasional, Mohammad Noh mengakui terjadinya pro dan kontra dalam
pelaksanaan Ujian Nasional. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung,
karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan,
tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan. “Tujuan
penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan
lagi terutama terkait penentu kelulusan atau standar nasional,” ujarnya.
Pemerintah akan
tetap memberlakukan kebijakan tersebut demi kemajuan dunia pendidikan. Mohammad
Noh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun anak
didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu,
orientasi pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan
belajar mengajar dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Oleh karena itu,
ada beberapa pertimbangan kami melihat kenyataan pada era ini, perkembangan
pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional banyak pro
kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan
di atas, kami merasa tertarik untuk membuat makalah ini dengan memilih judul
“Pro dan Kontra Pelaksanaan Ujian Nasional.”
PERUMUSAN
MASALAH
Di dalam pembuatan makalah ini kami mengambil sebuah
judul “Pro dan Kontra Pelaksanaan Ujian Nasional.” Dengan orientasi untuk
memberikan gambaran umum dari seputar dunia pendidikan di Indonesia itu sangat
luas, maka kami membatasi dengan batasan sebagai berikut:
1. Apa
pengertian Ujian Nasional?
2. Bagaimana
tujuan dan fungsi Ujian Nasional?
3. Bagaimana
dampak negatif dari Ujian Nasional?
4. Bagaimana
solusi dari Ujian Nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ujian
Nasional
Ujian Nasional atau biasa disingkat UN
adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional
dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan Depdiknas di Indonesia dengan berpedoman pada Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003. Pada pasal 57 (ayat 1) dijelaskan
bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut, pada pasal 58 (ayat 2)
dinyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan.
Adapun proses pemantauan evaluasi
tersebut dilakukan secara berkesinambungan sebagaimana yang dipaparkan dalam
pasal 58 (ayat 1) yang pada akhirnya diharapkan mampu membenahi mutu
pendidikan. Sementara pembenahan mutu pendidikan itu sendiri dimulai dengan
penentuan standar pendidikan atau penentuan nilai batas (cut off score).
Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas
tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai
kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi
tertentu. Dalam istilah ujian nasional, nilai batas ini disebut juga dengan
istilah batas kelulusan atau standar minimum kelulusan.
Mengenai standar pendidikan
nasional juga telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 yang
intinya mengatur delapan macam standar nasional pendidikan, yang mencakup: standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan, yang kesemuanya harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala.
Kebijakan pemerintah menyelenggarakan
Ujian Nasional (UN) - sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
telah dihapus - telah diberlakukan sejak tahun 2005. Menteri Pendidikan
Nasional yang pada waktu itu dijabat oleh Bambang Sudibyo dalam jumpa
persnya dengan para wartawan pada Rabu 19 Januari 2005 menegaskan bahwa Ujian
Nasional diperlukan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada
setiap akhir jenjang pendidikan. Pada kesempatan itu, Mendiknas mentargetkan
standar nilai nasional dari 4,01 menjadi 4,25. Standar nilai minimum kelulusan
tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga tahun 2011 ini
telah menjadi 5,5.
Kebijakan pemerintah RI melalui
Mendiknas tentang pelaksanaan Ujian Nasional ini terus menuai pro dan kontra
dari berbagai kalangan. Memang sebagian kalangan masih menganggap Ujian
Nasional memiliki banyak manfaat dalam pengaturan standar ujian akhir, namun
sebagian lainnya banyak pula yang beranggapan bahwa kebijakan tersebut tidak
tepat. Untuk itulah, melalui makalah sederhana ini kami mencoba untuk mengulas
sedikit tentang Kontroversi Ujian Nasional tersebut dari berbagai sisi.
Mudah-mudahan bermanfaat.
B.
Tujuan dan Fungsi Ujian
Nasional
Berdasarkan pedoman umum penyelenggaraan administrasi
sekolah menengah, Ujian Nasional ialah ujian yang dilaksanakan pada setiap
akhir seluruh program sekolah baik siswa kelas tertinggi yang menentukan lulus
tidaknya siswa. Implementasi UN didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Maksud Ujian Nasional adalah untuk mengetahui hasil
belajar siswa dan untuk memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan pada
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, perlu diselenggarakan penilaian secara
nasional pada akhir masa satuan pendidikan, untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah diperlukan adanya standar mutu pendidikan yang
terukur secara nasional. Ujian Nasional adalah kegiatan penilaian hasil belajar
siswa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah yang
diselenggarakan secara optimal. Surat Tanda Lulus (STL) adalah daftar yang
memuat nilai hasil ujian nasional yang diberikan pada para siswa yang telah
mengikuti ujian seluruh mata pelajaran yang diujikan sebagai tanda sertifikasi
kelulusan.
Tujuan Ujian Nasional adalah untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fungsi Ujian Nasional yaitu sebagai :
a.
Pemetaan mutu program dan / atau
satuan pendidikan.
b.
Dasar seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya.
c.
Penentu kelulusan peserta didik
dari satuan pendidikan
d.
Dasar pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
C.
Dampak Negatif Ujian
Nasional
Sebagai sebuah kebijakan pemerintah, Ujian Nasional
jelas ada sisi positif (manfaat) dan juga ada sisi negatifnya (madharat). Untuk
kasus Ujian Nasional, manfaatnya jelas ada, tetapi dampak/ekses negatif dari
Ujian Nasional itu jauh lebih besar dibanding dengan manfaatnya.
Bukankah ujian nasional yang sungguh telah
menghabiskan dana negara atau uang rakyat yang sangat banyak itu, langsung
maupun tidak langsung, sebenarnya telah meninggalkan efek negatif terhadap
masyarakat di dalam mempersepsi keberadaan pendidikan nasional?
Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada
sekarang ini adalah bergesernya paradigma bagi para praktisi pendidikan,
peserta didik, dan wali peserta didik.
Pertama, konstruksi berpikir para kepala
sekolah/madrasah dan guru tentang hakekat atau substansi dari kegiatan
pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta didik untuk
lulus ujian nasional saja. Akibatnya, tentang bagaimana mengantar peserta didik
untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama
pendidikan nasional, tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang
penting bagaimana para peserta didik itu siap berlaga dalam Ujian Nasional yang
hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tersebut.
Kedua, dampak Ujian Nasional bagi peserta didik
adalah timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna belajar di
sekolah/madrasah. Tujuan belajar yang mestinya dalam rangka mencari ilmu,
kecerdasan, dan akhlak yang mulia berubah menjadi sekedar meraih kelulusan
Ujian Nasional untuk tiga mata pelajaran Ujian Nasional. Akibatnya, mata
pelajaran yang tidak di Ujian Nasional kan akhirnya menjadi dinomorduakan,
termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan
Ujian Nasional yang tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan Ujian Nasional
hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah
yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya tidak fair-play alias tidak jujur.
Artinya, dalam pelaksanaan Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah itu
panitianya dan tentu dengan restu kepalanya secara langsung atau tidak langsung
membantu siswa supaya lulus Ujian Nasional, misalnya dengan cara memberi kunci
jawaban kepada peserta Ujian Nasional, dan juga bisa dengan cara menggunakan
siswa pandai untuk dicontoh oleh peserta didik yang memang lemah.
Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah
bertindak curang atau tidak terlalu sulit, diantaranya menanyakan kepada para
peserta didik yang baru saja menyelesaikan belajarnya. Dari informasi tersebut,
dapat diketahui bahwa sebuah sekolah/madrasah itu melakukan kecurangan atau
tidak.
Di samping itu, di dunia pendidikan kita sekarang
ini muncul keanehan-keanehan. Pertanyaannya adalah “ada apa denganmu panitia
Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah?” Sekolah/madrasah yang dalam
pelaksanaan Ujian Nasionalnya itu tidak jujur dan tidak fair-play, sebenarnya
lembaga pendidikan tersebut telah melakukan “kejahatan intelektual” secara
berjama’ah. Siapa yang paling berdosa, tidak lain adalah panitia Ujian Nasional
di tingkat sekolah/madrasah yang tentu saja dikomandani oleh kepala
sekolah/kepala madrasahnya.
Dengan melakukan kecurangan, berarti telah menafikan
nilai-nilai akademis dari sebuah kegiatan pendidikan, yaitu kejujuran
(fairness) dan obyektivitas (objectivity) itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu
itu tidak jujur, jelas itu merupakan bentuk kejahatan intelektual.
Bagi sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya
curang, maka akan berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun
berikutnya akan melaksanakan Ujian Nasional. Mereka para adik kelas yang mengetahui
bahwa kakak kelas dalam Ujian Nasionalnya itu dibantu oleh guru, maka jelas
mereka akan ogah-ogahan dalam belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat
Ujian Nasional pasti akan dibantu oleh guru sebagaimana kakak kelasnya dulu.
Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik
adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan
bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya, yaitu apabila anaknya lulus Ujian
Nasional. Dengan demikian, para wali peserta didik sudah tidak lagi
memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi
tambah mandiri, berwawasan luas, kreatif, inovatif atau tidak. Yang penting
apabila sudah lulus Ujian Nasional berarti sudah berhasil. Konsekuensi asumsi
yang demikian adalah wali peserta didik kemudian menjadi kurang respek terhadap
pengawasan dan pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap
belajar anaknya ketika Ujian Nasional sudah dekat, sementara untuk saat-saat di
luar menjelang Ujian Nasional, anak tidak pernah dimotivasi untuk belajar
secara kontinu.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas,
sebenarnya dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini juga
melanda ke lembaga-lembaga atau para pengelola pendidikan non pemerintah. Harus
diingat bahwa para pengelola lembaga pendidikan non pemerintah dalam membangun
gedung atau RKB dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lain itu, dananya
berasal dari hutang bank. Kemudian guru dan karyawannya 100% swasta. Mereka
berkewajiban mencicil tiap bulan ke bank dan membayar guru/karyawan tiap bulan.
Coba apa yang akan terjadi apabila sekolah tersebut banyak yang tidak lulus?
Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah yang kondisinya
demikian kami yakin akan berusaha dengan cara apapun yang penting para siswanya
harus lulus Ujian Nasional. Sebab, kalau sampai terjadi banyak yang tidak lulus
Ujian Nasional akan dapat berakibat fatal dan bahkan bisa terjadi kiamat di
lembaga pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga pendidikan non
pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja berfungsi sebagai wahana
pencerdasan anak bangsa/peserta didik tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni
sebagai lahan penghidupan bagi guru dan pegawai yang berada didalamnya beserta
keluarganya. Dengan demikian kelulusan Ujian Nasional itu ada hubungannya
dengan dapur.
Pelaksanaan Ujian Nasional sering kali mengorbankan
siswa dan guru, di tingkat akhir sekolah pembelajaran siswa hanya difokuskan
untuk lulus Ujian Nasional dengan pemberian pelajaran tambahan yang bisa
menyebabkan siswa stress.
Ada yang berpendapat Ujian Nasional malah menghambat
perkembangan anak didik. Ujian Nasional merupakan pemborosan untuk sesuatu yang
tidak berarti apa-apa dalam peningkatan perkembangan anak didik.
Berbagai keberatan yang dilontarkan
oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan.
Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi
perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak
jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan.
Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan
semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk
diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan
pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.
Berbagai dampak negatif yang nyata
terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:
☺ Terjadinya disorientasi pendidikan
di sekolah
Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak
seluruh mata pelajaran. Pada tahun 2005-2007 pada tingkat SMP dan SMA, hanya
mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Sedangkan pada
tahun 2008 untuk tingkat SMA ada penambahan mata pelajaran dan berbeda antara
jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA, ditambah mata pelajaran
Fisika, Kimia, dan Biologi. Untuk jurusan IPS ditambah mata pelajaran Ekonomi,
Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa ditambah mata pelajaran Sastra
Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 juga dilaksanakan
UN untuk tingkat SD, dengan mata pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.
Pembatasan mata pelajaran yang
diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya
ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran
lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya
diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan
orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di
UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir.
Disorientasi juga terjadi pada arah
dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran
cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan
mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk
menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan
psikomotorik.
☺ Proses
pembelajaran yang tidak bermakna
Untuk mempersiapkan para siswanya
menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode
pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal
yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para
siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik
mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak
bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan
konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan
kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan
sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
☺ Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik
terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai
yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya
untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya
citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya
dengan persentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai
sekolah yang berkualitas dan unggul.
Setiap sekolah menginginkannya dan
berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak
sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji.
Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh
oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang
setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan
100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas
053/U/2001) (Salamudin, 2005). Guru memberi ‘contekan’ kepada siswa adalah
suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan persentase
kelulusan di sekolah.
Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika,
bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban
kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti
dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun
terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi
seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang
seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah.
Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan kita. Manusia yang berkembang dalam suasana
yang serba tidak jujur.
☺ Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang menggunakan bentuk soal multiple
choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu
pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui
bentuk soal multiple choise hanya
sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa
belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang
merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur
ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan
menggunakan UN, yang sifatnya massal dan dilakukan dalam waktu yang sangat
terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah
hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple
intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
☺ Keputusan yang tidak fair
Selama ini hasil UN dijadikan
sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3
tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan
beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor
ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan
mental (mental fatique), karena stress pada saat mengerjakan ujian atau
karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false
negative).
Ketidakadilan juga bisa dilihat dari
proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya
yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi
dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di
satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan
dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil
belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai
hasil yang optimal.
Namun di sisi lain, di sekolah ‘nan
jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba
seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya
dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang
baik dengan kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun,
yang memakan biaya puluhan milyar (untuk tahun 2008, UN SD saja memakan biaya
sebesar Rp 96 milyar), sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa
dihasilkan dari model sekolah seperti itu.
☺ Menutup akses pendidikan
berkualitas bagi masyarakat miskin
Di samping sebagai persyaratan untuk
kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan
ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi
tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat
antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan
nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan
mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha
menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti
bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini
tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut
menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas
kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan
kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.
D. Solusi
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, baik
Komisi X DPR RI, BSNP, Komite Sekolah, dan Perguruan Tinggi, menganggap UN
masih perlu dilakukan, sampai ditemukan formula baru untuk mengevaluasi
pembelajaran. Dalam rapat tersebut, Ketua Panitia Kerja Komisi X DPR RI Ruli
Choirul Azwar melemparkan tiga opsi pelaksanaan UN kepada forum.
Opsi yang pertama, UN jalan terus, dan dianggap
tidak ada masalah dalam penyelenggaraannya. Namun jika hal tersebut yang
dilakukan, maka UN akan tetap menjadi kontroversi, sepanjang mutu pendidikan
belum seragam, dan pelaksanaannya yang serentak itu belum menjamin adanya
pengawasan yang baik dan tidak menimbulkan kecurangan.
Opsi yang kedua, UN bisa berjalan seperti sekarang,
dengan syarat penyempurnaan terhadap beberapa hal yang mampu mengatasi faktor
ketidakadilan akibat standar mutu pendidikan yang beragam. "Bagaimana
formulanya kita cari nanti, begitu juga faktor penyelenggaraan yang menimbulkan
kecurangan, akan menyempurnakan kebijakan-kebijakan UN ini," kata Ruli. Kelemahannya,
menurut Ruli, memang sulit mencari solusi atau formula yang bisa mengatasi
masalah UN sebagai penentu kelulusan. Atau, bagaimana mencari model
pengawasan yang efektif, apa penyelenggaraan yang bisa diubah, atau apakah
pengawasannya bisa dilakukan melibatkan unsur independen.
Opsi yang ketiga, UN dapat dilanjutkan, tetapi hanya
untuk pemetaan standar mutu pendidikan. Bukan sebagai penentu kelulusan.
Namun jika UN hanya dilakukan sebagai cara untuk memetakan standar mutu
pendidikan, menurut Rektor Universitas Negeri Medan Syawal Gultom, hanya akan
menghabiskan uang negara saja. Karena menurutnya, tidak akan ada semangat juang
siswa dan guru dalam menghadapi UN. Syawal mengatakan, saat ini semua pihak
harus berjuang untuk melaksanakan UN yang kredibel, dan bukan lagi
mempertanyakan UN berlawanan dengan UU atau tidak. "Tidak mungkin UN itu
bertentangan dengan hakikat pendidikan, UU yang ada. Kalau ada, itu
pelaksanaannya yang tidak sempurna ," kata Syawal.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ujian Nasional atau
biasa disingkat UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah
secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas di Indonesia
dengan berpedoman pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003.
Ujian Nasional adalah kegiatan penilaian hasil
belajar siswa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah
yang diselenggarakan secara optimal.
Maksud Ujian Nasional adalah untuk mengetahui hasil
belajar siswa dan untuk memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan pada
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, perlu diselenggarakan penilaian secara
nasional pada akhir masa satuan pendidikan, untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah diperlukan adanya standar mutu pendidikan yang
terukur secara nasional. Surat Tanda Lulus (STL) adalah daftar yang memuat
nilai hasil Ujian Nasional yang diberikan pada para siswa yang telah mengikuti
ujian seluruh mata pelajaran yang diujikan sebaai tanda sertifikasi kelulusan.
Tujuan Ujian Nasional untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fungsi Ujian Nasional yaitu sebagai :
a.
Pemetaan mutu program dan /
atau satuan pendidikan.
b.
Dasar seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya.
c.
Penentu kelulusan peserta didik
dari satuan pendidikan.
d.
Dasar pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada
sekarang ini adalah bergesernya paradigma bagi para praktisi pendidikan,
peserta didik, dan wali peserta didik.
Berbagai dampak negatif yang nyata
terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:
☺ Terjadinya disorientasi pendidikan
di sekolah
☺ Proses pembelajaran yang tidak
bermakna
☺ Upaya-upaya yang tidak fair
☺ Hanya ranah kognitif yang terukur
☺ Keputusan yang tidak fair
☺ Menutup akses pendidikan
berkualitas bagi masyarakat miskin
Solusi dari
Ujian Nasional yaitu:
a. UN
jalan terus,dan dianggap tidak ada masalah dalam penyelenggaraannya.
b. UN
bisa berjalan seperti sekarang, dengan syarat penyempurnaan terhadap beberapa
hal yang mampu mengatasi faktor ketidakadilan akibat standar mutu pendidikan
yang beragam.
c. UN
dapat dilanjutkan, tetapi hanya untuk pemetaan standar mutu pendidikan. Bukan
sebagai penentu kelulusan.
B.
Saran
Dari beberapa sumber yang kami baca, Ujian Nasional
memang sangat dibutuhkan karena dengan standar tersebut siswa bisa termotivasi
untuk lebih giat belajar untuk mencapai hasil yang maksimal.
Namun, sebaiknya
Ujian Nasional tidak perlu terus dinaikkan setiap tahunnya. Karena akan membuat
peserta didik menjadi sangat terbebani dengan nilai standardisasi itu. Upaya yang
harus lebih diperhatikan siswa dianjurkan sewaktu mengikuti kegiatan belajar
tambahan harus serius dan bersungguh-sungguh.
Dalam membuat kebijakan
tentang Ujian Nasional, seharusnya pemerintah menyesuaikan dengan sistem
pendidikan nasional kita. Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana setiap sekolah diberi kewenangan untuk
membuat silabus sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri, bukan silabus dari
pusat. Namun, pada tahap akhir tetap dilaksanakan Ujian Nasional yang digunakan
sebagai penentu kelulusan.
Pro kontra seputar UN tidak seharusnya terjadi kalau
semua pihak saling memahami dan menempatkan UN secara proporsional. Pihak
pemerintah melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang
sistematis, bertahap, dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat
difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa
memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas. Hasil UN
juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu
pendidikan secara komprehensif.
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda!!
Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66 (NEW)
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam ????
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!?