MAKALAH RIBA
Contoh Makalah Riba versi doc/docx nya bisa di unduh di akhir postingan. Terima Kasih
MAKALAH RIBA
A. Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia
Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam.
Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang
Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di
negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui
bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalah barang terlarang
dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga
berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis
pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum
menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat.
Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai
kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap
masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2000 tahun silam. Masalah
riba telah menjadi bahasan di kalangan bangsa Yahudi, Yunani, demikian juga
Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri
mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan
berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 : padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang
mendorong maraknya perbankan syariah di mana konsep keuntungan bagi penabung
didapat dari sistim bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba?
Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu
termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah
menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya
dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah
bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi
selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan
penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga
tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian
pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan
dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60%
dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu,
yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya
sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka
hiduplah bumi itu dan suburlah.”
(QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa
imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
2. Ancaman Bagi Pelaku Riba
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan
perdagangan. Seperti firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan
cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan
dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi
untuk berdagang. Firman Allah:
“Sedang yang
lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah.” (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha
akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba
itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba
padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah
firman Allah dalam surat al-Baqarah:
“Hai
orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang
tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau
berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika
kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak
boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi.”
(al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba
dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam
masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
“Apabila riba
dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya
untuk mendapat siksaan Allah.” (Riwayat
Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam
agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat
ayat yang berbunyi:
“Jikalau kamu
memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang
keras dan jangan ambil bunga daripadanya.”
(Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam
Injil Lukas dikatakan:
“Tetapi
hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan
tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu...”(Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada
Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam
terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang
Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil
bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ...”
Riba diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.berikut hadits yang melarang dan
mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadits ini
tersebut dikatakan dengan jelas tentang laknat bagi pelaku riba. Rasulullah Saw
melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya mereka semua
sama.
Nabi SAW bersabda : “riba
itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan
berkurang”
Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan
praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi
pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT,
sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta
yang diperoleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya.
3. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba
hutang-piutang dan riba jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi 2 yaitu
a. Riba Qardh dan
b. Riba Jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi 2 juga yaitu
a. Riba Fadhl dan
b. Riba Nasi’ah.
Berikut penjelasannya :
a. Riba hutang piutang ( yad )
• Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
• Riba
Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. Riba Jual Beli ( Bai’)
• Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis
barang ribawi.
• Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
4. Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan
ijma’ umat Islam:
“Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.”
(QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan
kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali
dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim,
(keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh
berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan
beriman kepada Allah.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari V: 393 no:
2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan
riba, dua saksinya dan penulisnya.”
Dan Beliau bersabda, “Mereka semua
sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no:
955, Shahihul Jami’us Shaghir
no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud
ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu
mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang
anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan
Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan
seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan
al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud
ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak
seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti
akibat akhirnya ia jatuh miskin.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir
no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
5. Jenis - Jenis Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah
ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang
yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini
diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar
barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan
uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw
dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia
merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan
Melakukan Riba Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah
ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu,
apabila tunai dengan tunai.” (Shahih:
Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis
dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan
tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah,
harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan
kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id
al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian
yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah
kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual
emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba
kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain
menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar
dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih:
Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III:
1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu
bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud
IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id
ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa
tamar jama’, yaitu satu jenis tamar,
kemudian kami menukar dua sha’ tamar
dengan satu sha’ tamar. Lalu
kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham
dengan dua Dirham.” (Muttafaqun
’alaih: Muslim III: 1216 no:
1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan
Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini
dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan
dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika
berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi
saw bersabda: “Tidak
mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada
emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak
mengapa menjual bur dengan sya’ir
dan sya’irnya lebih banyak daripada
burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V:
195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar
dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah
‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan
garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju
besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV:
399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya
barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan
barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan
jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum),
perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa
ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma
kering, kecuali para pemilik ‘ariyah,
karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma,
yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan
dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya
dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang
muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan
menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III:
1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi
kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar
menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz
ini baginya dan sema’na dalam
Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul
Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383
no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan
tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi
Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan
tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah
kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.”
Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud
IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang
sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan
ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani,
memberi komentar sebagai berikut, “Hadits
ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya
dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran
emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada
kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara
berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah
kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata,
kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar,
kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual
hingga dipisahkan.’” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no:
1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata
demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun
perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang
dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya
tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta
orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat
besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
2. “Bahwa
kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.” Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa
ganti, sudah pasti haramnya.
3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari
kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba
dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan
memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau
menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang
hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal
yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen
ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari
segi perekonomian).
4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik
(ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba
itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham
dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah
pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham
dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah
perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima,
dipandang dari segi etika).
5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya,
sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu, maka pendapat yang membolehkan
riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang
miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai
orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l’home par l’hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah
kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada
membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan
akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat
berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi
Makalah Riba.doc
Makalah Terkait :
Lainya :
Cara Merubah Windows XP SP2 Menjadi SP3 Tanpa Instal Ulang
Comments
Post a Comment